Kol Kok Digoreng?
Kol adalah salah satu sayuran yang lazim dalam menu makanan sehari-hari karena harganya yang murah dan mudah didapat. Kol bervariasi dari segi warna, termasuk merah, ungu, putih, dan hijau. Selain itu, bentuk daunnya juga bisa berkerut atau halus. Bentuknya yang bulat sampai lonjong dengan daun yang berlapis-lapis membuat kol sangat mirip dengan selada (Lactuca sativa). Padahal, kol sendiri termasuk ke dalam genus Brassica bersama dengan kembang kol, brokoli, dan kale. Meskipun bentuknya kurang menarik, kol termasuk sayuran yang kaya akan nutrisi.
Berdasarkan laman Data Komposisi Pangan Indonesia milik Kementerian Kesehatan RI, kandungan nutrisi kol per 100 g adalah sebagai berikut.
Air : 92.4 g
Energi : 29 Kal
Protein : 1.4 g
Lemak : 0.2 g
Karbohidrat : 5.3 g
Serat : 1.9 g
Potassium (K) : 236.8 mg
Kalsium (Ca) : 46 mg
Sodium (Na) : 28 mg
Vitamin C : 50 mg
Dengan nutrisi yang melimpah, kol telah tersebar di seluruh dunia selama ribuan tahun dan bisa ditemukan dalam berbagai hidangan yang beragam. Misalnya kimchi dari Korea, sauerkraut dari Jerman, dan golumpki dari Polandia. Di Indonesia sendiri, kol diolah menjadi isian dalam makanan, seperti bakwan, tahu isi, dan lumpia, dijadikan sayuran dalam sayur sop, atau dikonsumsi segar sebagai salad atau lalapan.
Seiring dengan tren yang berkembang, kol yang biasanya dimakan sebagai lalapan bergeser menjadi gorengan yang kemudian dikenal sebagai kol goreng. Hal ini disebabkan kol goreng lebih nikmat daripada kol segar yang berbau aneh dan bertekstur keras. Namun, dibalik kenikmatan itu terdapat beberapa efek yang berbahaya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
- Efek jangka pendek
Pada kurun waktu yang singkat, proses menggoreng bisa meningkatkan kalori secara signifikan. Selain itu, kol yang digoreng akan kehilangan sebagian besar nutrisinya. Vitamin larut lemak seperti vitamin A, D, E, dan K akan larut dalam minyak dan vitamin C akan hilang. Berkurangnya kandungan nutrisi pada kol yang digoreng memang membahayakan kesehatan secara langsung. Namun, manfaat dari kol jadi tidak bisa dirasakan secara maksimal.
2. Efek jangka panjang
Konsumsi kol goreng dalam jangka panjang akan menimbulkan bahaya baru untuk tubuh. Peningkatan kalori secara signifikan selama proses penggorengan apabila dibiarkan menumpuk di dalam tubuh bisa menyebabkan kenaikan berat badan. Bukti kuat juga ditemukan bahwa mengonsumsi makanan yang digoreng ada hubungannya dengan risiko lebih tinggi terkena penyakit kronis, seperti obesitas, diabetes melitus tipe 2, tekanan darah tinggi, dan penyakit kardiovaskular. Dengan demikian, konsumsi kol goreng sebaiknya dihindari dan digantikan dengan olahan kol yang lebih sehat.




Referensi :
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, n.d. Budidaya Kubis. [image] Available at: <https://balitsa.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Isi%20poster/MP-16%20Budidaya%20Kubis.pdf> [Accessed 4 March 2022].
Gadiraju, T. V., Patel, Y., Gaziano, J. M., & Djoussé, L. 2015. Fried Food Consumption and Cardiovascular Health: A Review of Current Evidence. Nutrients, 7(10), 8424–8430. https://doi.org/10.3390/nu7105404
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Data Komposisi Pangan Indonesia – Beranda. [online] Available at: <http://panganku.org/id-ID/view> [Accessed 4 March 2022].
Xu, F., Zheng, Y., Yang, Z., Cao, S., Shao, X., & Wang, H. 2014. Domestic cooking methods affect the nutritional quality of red cabbage. Food chemistry, 161, 162–167. Available at: <https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2014.04.025>
Yunghans, R., 2012. Cabbage in Traditional Dishes All Over the World. [online] https://www.thekitchn.com/. Available at: <https://www.thekitchn.com/cabbage-in-traditional-dishes-149116> [Accessed 4 March 2022].
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.