Saat ini, usaha kuliner yang menjual berbagai produk daging sedang menjamur. Anehnya, restoran-restoran tersebut menjual produk daging seperti beef steak dengan harga yang tak masuk akal! Betul, beef steak tersebut dijual dengan harga murah, tetapi rasanya empuk dan lezat seperti daging-daging yang dijual di restoran mewah. Selain restoran, produk daging tersebut juga sudah mulai dijual di toko daging dan supermarket, lho. Kalian penasaran gak sih, apa sih jenis daging yang dijual tersebut? Yuk, simak informasi berikut ini!

 

Makan Beef Steak Lezat dengan Harga Murah, Kok Bisa Ya?

Menurut Cambridge Dictionary, beef steak adalah potongan daging yang tebal dan melintang. Jenis beef steak yang disajikan di restoran pada umumnya adalah ribeye, sirloin, tenderloin, dan wagyu. Daging wagyu biasanya dijadikan sebagai pilihan beef steak yang paling digandrungi oleh masyarakat sebab teksturnya empuk dan dibalut dengan rasa umami sehingga menciptakan kelezatan tiada tanding. Namun, harga daging wagyu yang tidak terjangkau membuat jenis daging ini dikonsumsi oleh kalangan tertentu.

Akhir-akhir ini, dunia kuliner sedang dihebohkan oleh berbagai restoran yang menyediakan steak dengan cita rasa gurih dan empuk, tetapi dijual dengan harga murah. Restoran-restoran tersebut menyajikan daging meltique sebagai alternatif dari daging wagyu karena memiliki cita rasa dan tekstur yang serupa. Lebih lanjut, penjualan daging meltique juga sudah merambat ke toko daging dan supermarket. Dengan demikian, maraknya penjualan daging meltique di pasaran meningkatkan minat masyarakat terhadap konsumsi daging. Hal ini terjadi karena stigma daging steak yang selama ini dijual dengan harga mahal sudah tidak lagi berlaku.

 

Memangnya Daging Meltique itu Apa, Sih?

Daging meltique atau yang juga disebut sebagai artificially marbled meat merupakan produk daging yang disuntik dengan lemak atau emulsi (campuran antara air dengan minyak) serta diberi penambahan garam (Food Safety Information, 2019). Proses emulsi pada daging meltique biasanya menggunakan protein dari kedelai yang kemudian disuntikkan ke daging untuk menciptakan efek marbling. Marbling adalah lemak berbentuk serat putih pada potongan daging yang terlihat seperti marmer. Biasanya, marbling dijadikan sebagai indikator visual untuk menentukan kualitas daging sebab semakin banyak marbling, semakin gurih dan empuk daging tersebut (Cheng et al., 2015).

 

Lalu, Apa Bedanya Daging Meltique dengan Daging Wagyu?

Perbedaan daging meltique dengan daging wagyu terletak pada cara produksi, marbling, serta aroma dan cita rasa.

  • Produksi Daging

Wagyu pertama kali dicetuskan oleh industri ternak di Jepang sebagai inovasi untuk meningkatkan kualitas dan cita rasa daging. Produksi wagyu diatur secara ketat sejak sapi masih berada di peternakan. Peternakan wagyu hanya membudidayakan sapi dengan genetik yang terbaik. Produksi wagyu menggunakan cara calf production dan fattening farmer. Calf production adalah produksi wagyu dengan cara meletakkan sapi pada ruangan kecil untuk membatasi aktivitas sapi sehingga dapat menimbun lemak. Sementara itu, fattening farmer adalah pemberian pakan ternak harian berupa makanan tinggi asam lemak tidak jenuh seperti jagung dan biji-bijian untuk meningkatkan rasa gurih pada daging sapi. Hal inilah yang membuat daging wagyu selalu terjaga kualitasnya.

Berbeda dengan produksi daging wagyu yang telah diatur sejak sapi masih berada di peternakan, produksi daging meltique dimulai sejak sapi telah dipotong menjadi daging. Daging sapi yang telah dipotong tersebut akan disuntikkan dengan lemak atau emulsi protein kedelai sehingga dapat menciptakan tekstur yang empuk dan rasa yang gurih.

  • Marbling

Proses fattening pada daging wagyu menyebabkan tingginya kadar lemak intramuskular (lemak yang ditemukan di antara otot daging) sehingga marbling-nya tercipta secara alami dan terlihat dengan jelas. Proses penyuntikan lemak atau emulsi protein kedelai pada daging meltique akan menciptakan garis lemak putih (marbling) yang menyerupai lemak intramuskular pada daging wagyu sehingga disebut sebagai marbling buatan. 

  • Aroma dan Cita Rasa

Selain itu, perbedaan daging wagyu dan daging meltique adalah daging wagyu memiliki aroma manis dan sensasi umami (perpaduan rasa manis dengan asin). Hal tersebut diakibatkan oleh pakan yang diberikan pada sapi wagyu mempengaruhi cita rasa dan aroma lemak pada dagingnya (Motoyama, 2016). Daging meltique hanya memiliki rasa gurih, tetapi tidak memiliki aroma dan cita rasa yang umami. 

 

Untuk memudahkan pemahaman, berikut merupakan tabel perbedaan antara daging meltique dengan daging wagyu.

Perbedaan Daging Wagyu Daging Meltique
Cara Produksi diatur sejak sapi di peternakan  potongan daging disuntik lemak atau emulsi protein
Marbling tercipta secara alami dan jelas  tercipta dari emulsi  (marbling buatan)
Aroma & Cita Rasa aroma manis, ada sensasi umami  rasa gurih, tetapi tidak ada aroma dan cita rasa umami

 

Pro dan Kontra Daging Meltique

Pro

Daging meltique dapat dijadikan sebagai pilihan yang tepat untuk membuat olahan daging sebab harganya ekonomis, tetapi memiliki rasa menyerupai daging wagyu yang lezat dan empuk. Daging ini dijual dengan harga ekonomis sebab proses produksinya lebih sederhana dan tidak membutuhkan modal yang besar dibandingkan produksi daging wagyu. Selain itu, daging meltique juga kini mudah dijangkau karena tersedia di berbagai toko daging dan supermarket. 

 

Kontra

Daging meltique mengandung protein kedelai dari proses emulsi yang dapat memicu reaksi pada individu dengan alergi protein kedelai. Konsumsi produk yang mengandung protein kedelai pada penderita alergi protein kedelai dapat merangsang antibodi pada tubuh untuk melawan kehadiran protein kedelai sehingga tubuh menjadi hipersensitif, seperti sakit perut dan adanya reaksi pada kulit. Reaksi pada kulit ketika alergi meliputi kulit kemerahan, peradangan, dan iritasi. Oleh karena itu, tidak disarankan untuk mengonsumsi daging meltique apabila mengidap alergi terhadap protein kedelai.

 

Cara Mengolah Daging Meltique dengan Baik

Daging merupakan sumber makanan yang kaya akan protein, mineral seperti zinc, zat besi, dan selenium serta vitamin, khususnya vitamin B kompleks (Li, 2017). Zat-zat tersebut berperan dalam berbagai proses metabolisme tubuh. Agar dapat menjaga kualitas dan nutrisi daging saat hendak dikonsumsi, kita perlu memilih cara pengolahan daging yang tepat. 

Cara memasak konvensional seperti menggoreng daging pada temperatur tinggi dapat mengurangi nutrisi dan kualitas daging, seperti kehilangan vitamin yang larut dalam air dan vitamin yang sensitif terhadap suhu (thermolabile vitamin) serta kehilangan jumlah lemak. Proses menggoreng atau membakar daging pada suhu 140℃ dapat merusak protein dan menciptakan senyawa toksik bagi tubuh (Gomez, et al, 2020). Teknik memasak dengan merebus (boiling) juga dapat mengurangi nutrisi seperti kadar mineral fosfat dan mengurangi kelembapan pada daging (Alfaia, 2010 dan Ando, 2015).

 

Terdapat tiga cara pengolahan daging agar nutrisi dan kualitasnya tetap terjaga, yaitu dengan teknik mengukus (steam), Low-Temperature-Long-Time (LTLT), dan Sous Vide Cooking.

 

1. Teknik mengukus (steam)

Teknik mengukus dikenal sebagai cara yang baik untuk menjaga komponen nutrisi dan kualitas daging. Daging meltique sebesar 100 gram yang diolah dengan teknik kukus dapat mempertahankan kadar mineral, seperti kalsium, tembaga, zat besi, magnesium, dan zinc sehingga menunjang jumlah asupan mineral harian yang dibutuhkan oleh tubuh. Teknik ini juga dapat mempertahankan nutrisi lebih baik dibandingkan dengan teknik sous-vide cooking (Kapitula, 2020).

 

2. Teknik Low-Temperature-Long-Time (LTLT)

Teknik ini menggoreng daging dengan temperatur medium (50-60℃) dan jangka waktu yang lama. Temperatur medium meningkatkan juicy pada daging sedangkan jangka waktu yang lama melemahkan otot-otot pada daging sehingga menjadi lebih empuk (Gomez, 2020). Temperatur yang medium juga mencegah daging dari kehilangan berbagai nutrisi sehingga tetap menjaga kualitas daging. Meskipun begitu, rasa gurih dan aroma daging yang diolah menggunakan teknik Low-Temperature-Long-Time (LTLT) tidak sekuat hasil olahan daging dengan teknik menggoreng pada temperatur tinggi.

 

3. Teknik Sous Vide Cooking

Sous vide merupakan teknik memasak daging tradisional yang berasal dari Prancis. Teknik ini dapat digunakan dengan dua temperatur, yakni temperatur medium menuju rendah dengan jangka waktu lama (Low-Temperature-Long-Time) atau temperatur tinggi dengan waktu cepat (High Temperature). Namun, biasanya teknik sous vide memakai suhu medium dengan jangka waktu yang lama. 

Pertama-tama, daging akan dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas, kemudian akan di-vacuum hingga tidak ada udara yang tersisa dan disegel. Setelah itu, kantong plastik berisi daging akan dimasak di dalam mesin inkubator air dengan temperatur sedang, yakni 53-81℃. Proses ini akan mentransfer panas dari air ke kantong plastik yang berisi daging. 

Kantong yang disegel mencegah penguapan air pada daging sehingga meningkatkan juicy dan keempukannya (Feng, et al, 2020). Teknik sous vide juga dapat memudahkan proses pencernaan daging di dalam tubuh dengan menjaga struktur protein dari perubahan dan kerusakan. Kantong plastik yang disegel juga mencegah daging untuk kehilangan nutrisi. Memasak dengan teknik ini menjaga vitamin B kompleks, terutama vitamin B3 pada daging, mineral, seperti kalsium, zinc, dan zat besi, dan vitamin. Namun, memasak daging dengan teknik sous vide pada temperatur sedang dapat mengurangi aroma pada daging. 

Dibandingkan dengan teknik mengukus, teknik sous-vide dapat menyajikan daging yang lebih empuk dan juicy sebab segel pada kantong plastik menyebabkan kehilangan kadar air pada daging yang lebih sedikit dan juga mencegah evaporasi pada lemak sehingga terasa lebih gurih.

Jika ingin meningkatkan rasa gurih dan aroma pada daging, teknik sous vide dapat digunakan dengan temperatur tinggi (90℃). Namun, temperatur tinggi dapat menghilangkan sejumlah nutrisi pada daging, seperti vitamin larut air, vitamin larut lemak, dan vitamin sensitif terhadap suhu, merusak protein, serta mengurangi kadar air pada air sehingga daging lebih kering dan keras.

 

 

REFERENSI

 

Alfaia, et al. 2010. Effect of Cooking Methods on Fatty Acids, Conjugated Isomers of Linoleic Acid and Nutritional Quality of Beef Intramuscular Fat, Meat Science, 84(4), pp. 769-777.

Addison, et al. 2014. Intermuscular Fat: A Review of The Consequences and Causes, International Journal of Endocrinology. (online) Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3910392/#:~:text=Intramuscular%20fat%20is%20the%20visible%20fat%20found%20within%20a%20muscle. (Accessed 27th April 2023).

Ando, et al. 2015. The Effect of Various Boiling Conditions on Reduction of Phosphorus and Protein in Meat, Journal of Renal Nutrition, 25(6), pp. 504-509.

Anjany, Anastasya. 2023. The Effect of Different Oil and Water Ratio to The Properties of Meltique Meat. (online) Available at: https://repository.i3l.ac.id/bitstream/123456789/609/1/EP%20FT0009_Anastasya%20Anjany.pdf (Accessed April 25th 2023).

Aviles, et al. 2020. Impact of Sous Vide Cooking on Nutritional Quality of Meat, International Journal Nutrition & Food Science, 10(3). (online) Available at: https://juniperpublishers.com/nfsij/pdf/NFSIJ.MS.ID.555789.pdf (Accessed April 25th 2023).

Cambridge Dictionary. n.d. Steak | English Meaning. (online) Available at: https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/steak# (Accessed April 27th 2023).

Frazier, et al. 2020. Atopic Dermatitis: Diagnosis and Treatment, American Family Physician, 101(10), pp. 590-598.

Gomez, et al. 2020. The Effects of Processing and Preservation Technologies on Meat Quality: Sensory and Nutritional Aspects, Foods, 9(10), pp. 1416.

Herrera, et al. 2022. Developments in Meat Flavor. (online) Available at: https://www.sciencedirect.com/topics/agricultural-and-biological-sciences/wagyu (Accessed April 25th 2023).

Kapitula, et al. 2020. Nutritional Value of Cooked and Sous-vide Beef: Mineral Compounds Content, Proceedings of The Nutrition Society, 79. (online) Available at: https://www.researchgate.net/publication/342071224_Nutritional_value_of_cooked_and_sous-vide_beef_mineral_compounds_content#fullTextFileContent (Accessed April 25th 2023).

Kapitula, et al. 2022. The Influence of Muscle, Ageing and Thermal Treatment Method on The Quality of Cooked Beef, Journal of Food Science and Technology, 59, pp. 123-132.

Li, Chunbao. 2017. The Role of Beef in Human Nutrition and Health. (online) Available at:  https://www.researchgate.net/profile/Chunbao-Li/publication/317298356_The_role_of_beef_in_human_nutrition_and_health/links/5a8eb299a6fdccecfffd5c0a/The-role-of-beef-in-human-nutrition-and-health.pdf   (Accessed April 26th 2023).

Motoyama, et al. 2016. Wagyu and The Factors Contributing to Its Beef Quality: A Japanese Industry Overview, Meat Science, 120, pp. 10-18.

Radcliffe, et al. 2019. A Swine Model of Soy Protein–Induced Food Allergenicity: Implications in Human and Swine Nutrition, Animal Frontiers, 9(3), pp. 52-59.

Reed Jr. 2015. Post-Mortem Mechanical Injection of Low Quality Beef Loins With Pork Back Fat Improves Palatability Attributes. (online) Available at: https://wtamu-ir.tdl.org/bitstream/handle/11310/38/REED-THESIS-2015.pdf?sequence=1 (Accessed April 25th 2023).

T, Cordle. 2004. Soy Protein Allergy: Incidence and Relative Severity 1,2, The Journal of Nutrition, 134(5), pp. 1213S-1219S.

Vazquez-Mosquera, et al. 2022. Comparison of Pure and Crossbred Japanese Black Steers in Growth Performance and Metabolic Features from Birth to Slaughter at a Spanish Fattening Farm, animals, 12(13), pp. 1671.

Wang, et al. 2020. Characterization and Evaluation of Umami Taste: A Review, TrAC Trends in Analytical Chemistry, 127, pp. 115876.

Written by akg

Leave a Reply